Oleh:DR.
Zawawi Abdul Wahid, MA.
Pendahuluan
Dalam hukum perjanjian (akad) Islam, rukun ketiga akad adalah adanya
objek akad (Mahallul ‘Aqd). Objek akad menjadi sasaran yang hendak
dicapai oleh para pihak melalui penetapan akad sehingga asas manfaat menjadi
lazim bagi objek.
Objek ini dapat berbentuk benda yang terdiri dari satu bagian dan akibat
hukum dari sebuah akad akan dikenakan kepadanya secara utuh, berbeda dengan
objek akad yang terdiri dari beberapa komponen, dampak hukum yang dikenakan
padanya akan beragam sesuai dengan tujuan dan fungsi dari masing-masing bagian
tersebut, analisa terhadap dampak hukum tersebut menjadi kajian utama disertasi
ini.
Baca Selengkapnya
Baca Selengkapnya
Unsur utama dan pendukung
Objek
akad yang terdiri dari beberapa komponen, dapat dikelompokan menjadi dua unsur yaitu
unsur utama dan pendukung, yang mana
unsur utama itu sendiri adalah sesuatu yang menjadi sasaran & tujuan
pokok subjek, dan unsur pendukung berfungsi sebagai pelengkap & penyempurna
dari unsur utama.
Perbedaan
dampak hukum dari dua unsur tersebut sangat signifikan, berbagai hal yang
menjadi syarat keabsahan akad harus dipenuhi oleh unsur utama, tidak menjadi
syarat bagi unsur pendukung, begitu juga indikator yang menyebabkan akad
menjadi tidak sah seperti riba, gharar, qimar bila terletak pada
unsur utama mengakibatkan akad menjadi fasid, namun tidak berpengaruh bila
berada pada unsur pendukung, seperti akan dijelaskan lebih rinci pada bagian
berikut:
Kaidah Umum
Pada umumnya, tradisi
masyarakat di tempat dilangsungkannya akad menjadi sebuah standar dalam
mengidentifikasi asas pokok dan pendukung yang menjadi bagian objek akad,
walaupun demikian para pakar hukum Islam menggariskan beberapa hal sebagai
kaidah dan standar umum untuk membedakan dua asas tersebut, berikut
penjelasannya :
a. Antara benda dan
kemanfaatannya
Akad
jual beli yang objeknya berupa benda dan membawa kemanfaatan bagi subjek, dapat
ditentukan bahwa benda tersebut sebagai unsur pokok sedangkan berbagai bentuk kemanfaatannya sebagai unsur
sekunder. Perlu dicatat bahwa yang dimaksud manfaat disini adalah segala
sesuatu yang dihasilkan dari benda tersebut baik berupa materi maupun maknawi, misalnya
objek akad berupa sebuah pohon, buah-buahan yang dihasilkan merupakan nilai
manfaat, begitu juga dengan seekor hewan yang menjadi objek akad, anak yang masih
dalam kandungan sebagai manfaatnya.
b. Nilai pasar komponen
objek akad
Objek akad yang
mempunyai beberapa komponen, masing-masing mempunyai nilai pasar yang berbeda.[1]
Penentuan unsur pokok dan pendukung atas dasar besar kecilnya nilai jual, yaitu
komponen yang mempunyai nilai pasar lebih tinggi sebagai unsur utama dalam
objek akad, dan komponen yang nilai pasarnya lebih rendah sebagai unsur
pendukung.
Ulama Malikiyah
memberikan batasan sepertiga dari keseluruhan nilai pasar sebuah objek akad
sebagai standar umum dalam menentukan unsur pokok dan pendukung, yang mana komponen
dengan nilai pasarnya sepertiga atau kurang dari keseluruhan nilai pasar objek
sebagai unsur pendukung, sedangkan komponen yang nilainya lebih dari sepertiga
sebagai unsur pokok.
Bab I : Unsur Pokok dan
Pendukung pada akad jual beli dan ijarah
Dalam
bab satu ini, penulis mengemukakan dampak hukum unsur utama dan pendukung dalam
akad jual beli, akad salam dan akad ijarah.
1. Unsur pokok dan pendukung dalam objek
jual beli
Beberapa hal yang
menjadi standar dalam menentukan bagian dari sebuah barang yang menjadi objek
jual beli:
-
Sesuatu yang menjadi unsur pembentukan
suatu barang baik dari sisi bahasa atau tradisi masyarakat.
-
Sesuatu yang melekat secara permanen
pada barang yang menjadi objek akad.
-
Sesuatu yang tidak melekat namun
menjadi faktor menentukan dalam pemanfaatan objek akad.
Contoh:
Penjualan sebuah rumah, termasuk bagian objek
adalah bangunan dan pondasi sebagai unsur utamanya, adapun berbagai jenis
barang yang melekat secara permanent, seperti pintu, jendela, lampu, pipa
saluran air, termasuk unsur sekunder yang menjadi bagian rumah. Sedangkan jenis
benda yang tidak permanent seperti alat-alat dapur, pakaian, makanan, tidak
termasuk komponen objek akad kecuali pihak bersangkutan menegaskannya di waktu
akad berlangsung. Hal ini sesuai dengan undang-undang hukum perdata RI, bab I pasal
500 :
Segala sesuatu yang
termasuk dalam suatu barang karena hukum perlekatan, begitu pula segala
hasilnya, baik hasil alam, maupun hasil usaha kerajinan, selama melekat pada
dahan atau akarnya, atau terpaut pada tanah, adalah bagian dari barang itu.
2. Unsur pokok dan pendukung dalam objek
ijarah (sewa menyewa)
Ijarah ialah akad
atas suatu kemanfaatan suatu benda. Objek akad Ijarah adalah manfaat, sehingga
dikategorikan sebagai akad menjual manfaat, adapun benda sebagai sarana untuk
mendapatkan manfaat yang menjadi tujuan utama.
Oleh karena itu, mayoritas
ulama berpendapat bahwa penyewaan sesuatu dengan tujuan mengkonsumsi benda adalah
tidak sah, seperti menyewakan pohon untuk diambil buahnya, atau binatang ternak
untuk diambil air susunya, atau sumur untuk dimanfaatkan airnya. namun, apabila
konsumsi benda tersebut hanya bersifat sekunder, maka tidak menjadi faktor
batalnya akad ijarah, seperti penyewaan tanah dengan tujuan pertanian, pemanfaatan
tanah ini membutuhkan air yang cukup dan teratur, hal ini tidak mempengaruhi
keabsahan akad.
Bab
II : Unsur Pendukung dalam sepekulasi/ketidakpastian (gharar) dan riba
Pada
bab dua ini, penulis mengkaji beberapa faktor yang dapat mengakibatkan sebuah
akad menjadi tidak sah, yaitu gharar, riba dan akibat hukumnya ketika
berada pada unsur pokok dan sekunder.
1. Gharar (ketidakpastian)
Secara umum, pada jenis akad tertentu yaitu akad saling menukar
pengganti (aqd al-mu'awadhah) seperti akad jual beli, akad salam, akad
sewa menyewa, para pakar Hukum Islam menjelaskan bahwa perjanjian dinyatakan
batal apabila mengandung unsur riba atau unsur gharar (ketidakjelasan).
Berikut penjelasan secara lebih rinci :
Salah satu Indikator terpenting yang
menyebabkan akad menjadi tidak sah ialah mengandung unsur gharar fahisy
atau ketidakpastian yang berat baik menyentuh aspek keberadaan objek, aspek
kuantiti, atau aspek kualiti. Hal ini berasaskan larangan Rasulullah s.a.w
mengenai bai‘ al-gharar dalam sabdanya :
نَهَى
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ
بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah s.a.w. melarang jualbeli berasaskan lontaran dan
jualbeli yang mengandung unsur ketidakpastian
(uncertainty).”
Perlu digarisbawah bahwa gharar fahisy
tersebut menjadi faktor yang menyebabkan akad menjadi batal ketika berada pada
unsur pokok/utama sebuah objek akad.
Adapun ketika gharar fahisy berada pada unsur pendukung objek akad,
tidak dapat mempengaruhi keabsahan akad, seperti contoh di bawah ini :
-
penjualan jenis buah yang masih berada
di pohon dan belum siap dipetik, hal ini dilarang oleh agama karena faktor gharar,
namun ketika penjualan tersebut dilangsungkan bersamaan dengan pohon dapat
dibenarkan secara hukum.
-
penjualan anak hewan yang masih dalam
kandungan dilarang karena faktor gharar, namun penjualan hewan yang
sedang hamil keabsahannya tidak terpengaruh oleh gharar.
2. Riba dalam akad jual beli
Sebagaimana diketahui,
riba dapat terjadi pada dua akad, yaitu akad pinjam meminjam dan akad jual
beli. Penelitian ini hanya membahas riba dalam jual beli.
Ada dua jenis riba yang dapat terjadi pada
akad jual beli, riba al-fadl dan riba nasiah. Kedua jenis riba
ini hanya berlaku pada objek akad tertentu yang dapat dikelompokan menjadi dua
jenis makanan dan mata uang.
Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa
penukarkan barang yang sejenis seperti beras dengan beras –walaupun berbeda kualitasnya-
disyaratkan dua hal, kesamaan takaran dan penyerahan secara tunai. Jika syarat
pertama tidak terpenuhi dengan adanya perbedaan takaran, akad ini dinilai
mengandung unsur riba fadl, jika syarat kedua tidak terpenuhi timbul
riba nasiah. Adapun pertukaran barang yang tidak sejenis, seperti beras
dengan gandum tidak disyaratkan persamaan takaran, akan tetapi hanya disyaratkan
penyerahan secara tunai.
Kajian penelitian ini membidik beberapa hal
yang berkaitan dengan riba fadl, diantaranya adalah terjadinya riba fadl
karena faktor perbedaan takaran objek akad, agar aspek persamaan takaran dapat dijaga, objek
akad tidak tersusun dari dari dua jenis barang, seperti sebuah kalung (yang
terbuat dari permata, dihiasi dengan emas) ditukar dengan emas, atau sebuah
mushaf al-quran yang dihiasi dengan emas dijual dengan emas, atau cincin yang
terbuat dari besi dan dihiasi dengan perak ditukar dengan perak.
Penjualan seperti diatas dinilai tidak sah
karena emas yang bercampur dengan bahan lain tidak bisa diketahui ukuran
beratnya, sehingga ada unsur perbedaan takaran dari dua pihak, namun ada
pengecualian agar penjualan seperti ini bisa sah dengan memenuhi empat syarat, adapun
syarat itu:
- Jenis barang
yang dihiasi dengan emas atau perak halal digunakan dalam kegiatan,
seperti berbagai jenis perhiasan bagi wanita, mushaf, pedang/peralatan
perang, cincin dari perak yang halal untuk lelaki.
- Antara barang
dan hiasan emas/perak dirakit sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan
untuk dipisah.
- Penyerahan
secara tunai di tempat akad.
- Nilai jual emas
(berfungsi sebagai hiasan) tidak lebih dari 1/3 dari nilai jual barang
tersebut.
Bab III : Unsur Pokok dan Pendukung
pada Kegiatan Akad Kontemporer
Pada bab ketiga ini, pembahasan
menyentuh beberapa bentuk akad kontemporer yang dipengaruhi oleh dua unsur
objek akad, unsur utama dan sekunder, berikut penjelasan secara singkat.
Pertama : Penjualan produk yang disepuh
dengan emas.
Sebagaimana diketahui
bahwa.elektroplating atau penyepuhan merupakan proses pelapisan permukaan logam
dengan logam lain. Misalnya tembaga dilapisi dengan emas dengan menggunakan
elektrolit larutan emas (AuCl3).
Pelapisan ditujukan
untuk memperbaiki permukaan benda sehingga lebih cemerlang dan mengkilap dan
tahan korosi. Di era modern, berbagai jenis perhiasan, kerajinan, komponen
sepeda motor, mobil dan peralatan pabrik dilakukan sentuhan akhir melalui
penyepuhan emas.
Bagaimana hukum
menjual belikan produk-produk tersebut ? ada dua pendapat :
Pertama : dilarang menjual belikan berbagai
macam produk yang dilapisi emas seperti kacamata, jam tangan, perabotan rumah
rangga, pendapat ini didukung oleh lembaga riset dan fatwa Arab Saudi. Argumen
utama pendapat ini adalah hadits Nabi :
لا
تشربوا في إناء الذهب والفضة ولا تلبسوا الديباج و الحرير فإنه لهم في الدنيا وهو
لكم في الآخرة يوم القيامة
Kedua : dibolehkan
menjual belikan produk-produk tersebut, pendapat ini didukung oleh lembaga
fatwa Kuwait dan mayoritas Ulama kontemporer seperti Dr. Musthafa al-Zarqa, Dr.
Wahbah al-Zuhaili, Dr. Ali Salus, dll.
Argumen utama
pendapat ini adalah berbagai jenis benda tersebut hanya dilapisi dengan larutan
emas, yang dinilai sebagai unsur sekunder/pendukung, tidak merubah bahan utama berupa
logam besi, tembaga, nikel, sehingga tidak mempengaruhi hukum pemanfaatannya,
baik sebagai perhiasan atau peralatan rumah tangga, olehkarenanya hukum menjual
belikan produk tersebut adalah halal tanpa diharuskan memenuhi syarat-syarat
penjualan barang ribawi.
Kedua : Tinjauan hukum garansi dalam
sistim jual beli kontemporer
Di era global ini, garansi termasuk salah satu bentuk promosi untuk
meningkatkan penjualan suatu produk, garansi ini merupakan jaminan yang
diberikan secara tertulis oleh pabrik atau supplier atas barang-barang yang
dijual terhadap kerusakan-kerusakan yang timbul dalam jangka waktu tertentu.
Biasanya, garansi memiliki batas waktu, baik dengan jarak tempuh, hari, bulan,
tahun dan lain sebagianya.
Dalam kajian hukum
fikih modern, ada beberapa pendapat dalam mengkategorikan (al-takyiif
al-fiqhi) garansi ini, diantaranya :
Pertama : Jaminan atas kerusakan barang (dhaman al-aib) dari pihak
produsen.
Kedua : Sebagai bentuk syarat
dari salah satu pihak.
Ketiga : Garansi merupakan
bentuk akad ijarah.
Adapun dimensi hukum
fiqih atas sistem bisnis dengan permak garansi, sebagai berikut :
1. Antara penjualan produk dan garansi dilakukan
secara terpisah, masing-masing mempunyai ketentuan harga.
Dalam hal ini, permak
garansi dikategorikan sebagai akad ijarah yang objeknya mengandung unsur garar
atau ketidakpastian, jaminan reparasi produk sangat relatif, ada
kemungkinan kondisi produk sangat baik dan normal tidak mengalami gangguan
dalam jangka waktu yang ditetapkan produsen, sehingga uang yang diberikan
konsumen atas akad permak garansi ini sia-sia belaka.
2. Permak garansi dilakukan bersamaan dengan penjualan
produk, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, ada dua
pendapat ulama dalam menyikapi persoalan ini :
- pertama : akad jual beli tidak sah dan garansi seperti
ini haram, pendapat ini didukung oleh Muhammad Sakhal al-Majaji.
- kedua : akad jual beli sah, sedangkan hukum garansi adalah halal,
pendapat ini didukung mayoritas ulama, diantaranya Mustafa Zarqa, DR. Wahbah
Zuhaili.
Ketiga : Tinjauan hukum atas jual beli
dengan sistem hadiah
Salah satu bentuk promosi
untuk meningkatkan penjualan suatu produk adalah melalui sistem hadiah, secara
umum ada dua metode, yaitu :
Pertama : memberikan kupon pada setiap penjualan produk dengan batasan
harga tertentu, kemudian diadakan undian untuk menentukan para pemenang.
ada dua pendapat ulama dalam menyikapi persoalan ini :
1.
Tidak
diperkenankan mengikuti undian dan penjualan produk dengan sistem ini tidak
sah, pendapat ini didukung Ibnu Baz dan lembaga fatwa Arab Saudi.
2. Sistem penjualan seperti ini sah, dan diperkenankan
mengikuti undian, dengan beberapa catatan,
- harga produk tidak bertambah karena faktor hadiah
- pembelian produk dilatarbelakangi oleh pemenuhunan
kebutuhan hidup bukan semata mata mendapatkan hadiah.
Kedua : memberikan hadiah kepada seluruh pembeli, ada beberapa bentuk :
- Hadiah yang dapat diketahui identitasnya.
- Hadiah yang tidak dapat diketahui identitasnya.
- Hadiah berupa uang tunai
Keempat : Tinjauan
hukum atas asuransi.
Secara umum ada dua pendapat tentang status hukum asuransi, mayoritas
ulama kontemporer menilai keharaman asuransi dan beberapa tokoh muslim
menilainya sebagai bentuk akad baru yang sah dan halal.
Perlu dicatat bahwa
keharaman akad asuransi ini bila dilakukan secara independen, adapun ketika berstatus
sebagai unsur sekunder dampak hukumnya berbeda, seperti asuransi sebagai bagian
dari anekaragam fasilitas kartu kredit, asuransi dalam penjualan atau penyewaan
sarana transportasi.
Penutup
Demikian sekilas isi
dan kandungan disertasi ini, masih banyak sub pembahasan yang belum bisa
sajikan lewat tulisan, insyallah disampaiakan secara lisan dalam diskusi,
semoga dapat membawa manfaat amin.
[1] Nilai pasar
adalah “Estimasi jumlah uang pada tanggal penilaian yang dapat diperoleh dari
transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset antara pembeli yang
berminat membeli dan penjual yang berminat menjual dalam suatu transaksi bebas
ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, dimana kedua pihak
masing-masing mengetahui, bertindak hati-hati dan tanpa paksaan. Adapun
pengertian harga adalah sejumlah uang yang disetujui pembeli untuk dibayarkan
dan disetujui penjual untuk diterima di saat tertentu dan melalui mekanisme
pasar yang wajar.
0 komentar:
Posting Komentar