Social Icons

Icon Icon Icon

Rabu, 31 Oktober 2012

Aspek Pendukung Dalam Perjanjian (akad) dan Aplikasi Kontemporer dalam Prespektif Hukum Islam

Oleh:DR. Zawawi Abdul Wahid, MA.
Pendahuluan
Dalam hukum perjanjian (akad) Islam, rukun ketiga akad adalah adanya objek akad (Mahallul ‘Aqd). Objek akad menjadi sasaran yang hendak dicapai oleh para pihak melalui penetapan akad sehingga asas manfaat menjadi lazim bagi objek.   
Objek ini dapat berbentuk benda yang terdiri dari satu bagian dan akibat hukum dari sebuah akad akan dikenakan kepadanya secara utuh, berbeda dengan objek akad yang terdiri dari beberapa komponen, dampak hukum yang dikenakan padanya akan beragam sesuai dengan tujuan dan fungsi dari masing-masing bagian tersebut, analisa terhadap dampak hukum tersebut menjadi kajian utama disertasi ini.
Baca Selengkapnya 
Unsur utama dan pendukung
            Objek akad yang terdiri dari beberapa komponen, dapat dikelompokan menjadi dua unsur yaitu unsur utama dan pendukung, yang mana  unsur utama itu sendiri adalah sesuatu yang menjadi sasaran & tujuan pokok subjek, dan unsur pendukung berfungsi sebagai pelengkap & penyempurna dari unsur utama.
            Perbedaan dampak hukum dari dua unsur tersebut sangat signifikan, berbagai hal yang menjadi syarat keabsahan akad harus dipenuhi oleh unsur utama, tidak menjadi syarat bagi unsur pendukung, begitu juga indikator yang menyebabkan akad menjadi tidak sah seperti riba, gharar, qimar bila terletak pada unsur utama mengakibatkan akad menjadi fasid, namun tidak berpengaruh bila berada pada unsur pendukung, seperti akan dijelaskan lebih rinci pada bagian berikut:
Kaidah Umum
Pada umumnya, tradisi masyarakat di tempat dilangsungkannya akad menjadi sebuah standar dalam mengidentifikasi asas pokok dan pendukung yang menjadi bagian objek akad, walaupun demikian para pakar hukum Islam menggariskan beberapa hal sebagai kaidah dan standar umum untuk membedakan dua asas tersebut, berikut penjelasannya :   
a. Antara benda dan kemanfaatannya  
      Akad jual beli yang objeknya berupa benda dan membawa kemanfaatan bagi subjek, dapat ditentukan bahwa benda tersebut sebagai unsur pokok sedangkan  berbagai bentuk kemanfaatannya sebagai unsur sekunder. Perlu dicatat bahwa yang dimaksud manfaat disini adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari benda tersebut baik berupa materi maupun maknawi, misalnya objek akad berupa sebuah pohon, buah-buahan yang dihasilkan merupakan nilai manfaat, begitu juga dengan seekor hewan yang menjadi objek akad, anak yang masih dalam kandungan sebagai manfaatnya.   
b. Nilai pasar komponen objek akad
            Objek akad yang mempunyai beberapa komponen, masing-masing mempunyai nilai pasar yang berbeda.[1] Penentuan unsur pokok dan pendukung atas dasar besar kecilnya nilai jual, yaitu komponen yang mempunyai nilai pasar lebih tinggi sebagai unsur utama dalam objek akad, dan komponen yang nilai pasarnya lebih rendah sebagai unsur pendukung.
Ulama Malikiyah memberikan batasan sepertiga dari keseluruhan nilai pasar sebuah objek akad sebagai standar umum dalam menentukan unsur pokok dan pendukung, yang mana komponen dengan nilai pasarnya sepertiga atau kurang dari keseluruhan nilai pasar objek sebagai unsur pendukung, sedangkan komponen yang nilainya lebih dari sepertiga sebagai unsur pokok.

Bab I : Unsur Pokok dan Pendukung pada akad jual beli dan ijarah

            Dalam bab satu ini, penulis mengemukakan dampak hukum unsur utama dan pendukung dalam akad jual beli, akad salam dan akad ijarah.     
1. Unsur pokok dan pendukung dalam objek jual beli
Beberapa hal yang menjadi standar dalam menentukan bagian dari sebuah barang yang menjadi objek jual beli:
-       Sesuatu yang menjadi unsur pembentukan suatu barang baik dari sisi bahasa atau tradisi masyarakat.
-       Sesuatu yang melekat secara permanen pada barang yang menjadi objek akad.
-       Sesuatu yang tidak melekat namun menjadi faktor menentukan dalam pemanfaatan objek akad. 

Contoh:
Penjualan sebuah rumah, termasuk bagian objek adalah bangunan dan pondasi sebagai unsur utamanya, adapun berbagai jenis barang yang melekat secara permanent, seperti pintu, jendela, lampu, pipa saluran air, termasuk unsur sekunder yang menjadi bagian rumah. Sedangkan jenis benda yang tidak permanent seperti alat-alat dapur, pakaian, makanan, tidak termasuk komponen objek akad kecuali pihak bersangkutan menegaskannya di waktu akad berlangsung. Hal ini sesuai dengan undang-undang hukum perdata RI, bab I pasal 500 : 
Segala sesuatu yang termasuk dalam suatu barang karena hukum perlekatan, begitu pula segala hasilnya, baik hasil alam, maupun hasil usaha kerajinan, selama melekat pada dahan atau akarnya, atau terpaut pada tanah, adalah bagian dari barang itu.

2. Unsur pokok dan pendukung dalam objek ijarah (sewa menyewa)
Ijarah ialah akad atas suatu kemanfaatan suatu benda. Objek akad Ijarah adalah manfaat, sehingga dikategorikan sebagai akad menjual manfaat, adapun benda sebagai sarana untuk mendapatkan manfaat yang menjadi tujuan utama.
Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa penyewaan sesuatu dengan tujuan mengkonsumsi benda adalah tidak sah, seperti menyewakan pohon untuk diambil buahnya, atau binatang ternak untuk diambil air susunya, atau sumur untuk dimanfaatkan airnya. namun, apabila konsumsi benda tersebut hanya bersifat sekunder, maka tidak menjadi faktor batalnya akad ijarah, seperti penyewaan tanah dengan tujuan pertanian, pemanfaatan tanah ini membutuhkan air yang cukup dan teratur, hal ini tidak mempengaruhi keabsahan akad.

Bab II : Unsur Pendukung dalam sepekulasi/ketidakpastian (gharar) dan riba

            Pada bab dua ini, penulis mengkaji beberapa faktor yang dapat mengakibatkan sebuah akad menjadi tidak sah, yaitu gharar, riba dan akibat hukumnya ketika berada pada unsur pokok dan sekunder.   
1. Gharar (ketidakpastian)
Secara umum, pada jenis akad tertentu yaitu akad saling menukar pengganti (aqd al-mu'awadhah) seperti akad jual beli, akad salam, akad sewa menyewa, para pakar Hukum Islam menjelaskan bahwa perjanjian dinyatakan batal apabila mengandung unsur riba atau unsur gharar (ketidakjelasan). Berikut penjelasan secara lebih rinci :
Salah satu Indikator terpenting yang menyebabkan akad menjadi tidak sah ialah mengandung unsur gharar fahisy atau ketidakpastian yang berat baik menyentuh aspek keberadaan objek, aspek kuantiti, atau aspek kualiti. Hal ini berasaskan larangan Rasulullah s.a.w mengenai bai‘ al-gharar dalam  sabdanya :
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah s.a.w. melarang jualbeli berasaskan lontaran dan jualbeli  yang mengandung unsur ketidakpastian (uncertainty).”

Perlu digarisbawah bahwa gharar fahisy tersebut menjadi faktor yang menyebabkan akad menjadi batal ketika berada pada unsur pokok/utama sebuah  objek akad. Adapun ketika gharar fahisy berada pada unsur pendukung objek akad, tidak dapat mempengaruhi keabsahan akad, seperti contoh di bawah ini :
-       penjualan jenis buah yang masih berada di pohon dan belum siap dipetik, hal ini dilarang oleh agama karena faktor gharar, namun ketika penjualan tersebut dilangsungkan bersamaan dengan pohon dapat dibenarkan secara hukum.
-       penjualan anak hewan yang masih dalam kandungan dilarang karena faktor gharar, namun penjualan hewan yang sedang hamil keabsahannya tidak terpengaruh oleh gharar
2. Riba dalam akad jual beli
Sebagaimana diketahui, riba dapat terjadi pada dua akad, yaitu akad pinjam meminjam dan akad jual beli. Penelitian ini hanya membahas riba dalam jual beli.
Ada dua jenis riba yang dapat terjadi pada akad jual beli, riba al-fadl dan riba nasiah. Kedua jenis riba ini hanya berlaku pada objek akad tertentu yang dapat dikelompokan menjadi dua jenis makanan dan mata uang.
Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa penukarkan barang yang sejenis seperti beras dengan beras –walaupun berbeda kualitasnya- disyaratkan dua hal, kesamaan takaran dan penyerahan secara tunai. Jika syarat pertama tidak terpenuhi dengan adanya perbedaan takaran, akad ini dinilai mengandung unsur riba fadl, jika syarat kedua tidak terpenuhi timbul riba nasiah. Adapun pertukaran barang yang tidak sejenis, seperti beras dengan gandum tidak disyaratkan persamaan takaran, akan tetapi hanya disyaratkan penyerahan secara tunai.
Kajian penelitian ini membidik beberapa hal yang berkaitan dengan riba fadl, diantaranya adalah terjadinya riba fadl karena faktor perbedaan takaran objek akad,  agar aspek persamaan takaran dapat dijaga, objek akad tidak tersusun dari dari dua jenis barang, seperti sebuah kalung (yang terbuat dari permata, dihiasi dengan emas) ditukar dengan emas, atau sebuah mushaf al-quran yang dihiasi dengan emas dijual dengan emas, atau cincin yang terbuat dari besi dan dihiasi dengan perak ditukar dengan perak.
Penjualan seperti diatas dinilai tidak sah karena emas yang bercampur dengan bahan lain tidak bisa diketahui ukuran beratnya, sehingga ada unsur perbedaan takaran dari dua pihak, namun ada pengecualian agar penjualan seperti ini bisa sah dengan memenuhi empat syarat, adapun syarat itu:
  1. Jenis barang yang dihiasi dengan emas atau perak halal digunakan dalam kegiatan, seperti berbagai jenis perhiasan bagi wanita, mushaf, pedang/peralatan perang, cincin dari perak yang halal untuk lelaki.
  2. Antara barang dan hiasan emas/perak dirakit sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan untuk dipisah.
  3. Penyerahan secara tunai di tempat akad.
  4. Nilai jual emas (berfungsi sebagai hiasan) tidak lebih dari 1/3 dari nilai jual barang tersebut.

Bab III : Unsur Pokok dan Pendukung pada Kegiatan Akad Kontemporer

Pada bab ketiga ini, pembahasan menyentuh beberapa bentuk akad kontemporer yang dipengaruhi oleh dua unsur objek akad, unsur utama dan sekunder, berikut penjelasan secara singkat.  
Pertama : Penjualan produk yang disepuh dengan emas.
Sebagaimana diketahui bahwa.elektroplating atau penyepuhan merupakan proses pelapisan permukaan logam dengan logam lain. Misalnya tembaga dilapisi dengan emas dengan menggunakan elektrolit larutan emas (AuCl3).
Pelapisan ditujukan untuk memperbaiki permukaan benda sehingga lebih cemerlang dan mengkilap dan tahan korosi. Di era modern, berbagai jenis perhiasan, kerajinan, komponen sepeda motor, mobil dan peralatan pabrik dilakukan sentuhan akhir melalui penyepuhan emas.
Bagaimana hukum menjual belikan produk-produk tersebut ? ada dua pendapat :
      Pertama : dilarang menjual belikan berbagai macam produk yang dilapisi emas seperti kacamata, jam tangan, perabotan rumah rangga, pendapat ini didukung oleh lembaga riset dan fatwa Arab Saudi. Argumen utama pendapat ini adalah hadits Nabi :

لا تشربوا في إناء الذهب والفضة ولا تلبسوا الديباج و الحرير فإنه لهم في الدنيا وهو لكم في الآخرة يوم القيامة

Kedua : dibolehkan menjual belikan produk-produk tersebut, pendapat ini didukung oleh lembaga fatwa Kuwait dan mayoritas Ulama kontemporer seperti Dr. Musthafa al-Zarqa, Dr. Wahbah al-Zuhaili, Dr. Ali Salus, dll.
Argumen utama pendapat ini adalah berbagai jenis benda tersebut hanya dilapisi dengan larutan emas, yang dinilai sebagai unsur sekunder/pendukung, tidak merubah bahan utama berupa logam besi, tembaga, nikel, sehingga tidak mempengaruhi hukum pemanfaatannya, baik sebagai perhiasan atau peralatan rumah tangga, olehkarenanya hukum menjual belikan produk tersebut adalah halal tanpa diharuskan memenuhi syarat-syarat penjualan barang ribawi.   

Kedua : Tinjauan hukum garansi dalam sistim jual beli kontemporer  
Di era global ini, garansi termasuk salah satu bentuk promosi untuk meningkatkan penjualan suatu produk, garansi ini merupakan jaminan yang diberikan secara tertulis oleh pabrik atau supplier atas barang-barang yang dijual terhadap kerusakan-kerusakan yang timbul dalam jangka waktu tertentu. Biasanya, garansi memiliki batas waktu, baik dengan jarak tempuh, hari, bulan, tahun dan lain sebagianya.
Dalam kajian hukum fikih modern, ada beberapa pendapat dalam mengkategorikan (al-takyiif al-fiqhi) garansi ini, diantaranya :
Pertama : Jaminan atas kerusakan barang (dhaman al-aib) dari pihak produsen.
Kedua    : Sebagai bentuk syarat dari salah satu pihak.
Ketiga    : Garansi merupakan bentuk akad ijarah.

Adapun dimensi hukum fiqih atas sistem bisnis dengan permak garansi, sebagai berikut :
1. Antara penjualan produk dan garansi dilakukan secara terpisah, masing-masing mempunyai ketentuan harga.
Dalam hal ini, permak garansi dikategorikan sebagai akad ijarah yang objeknya mengandung unsur garar atau ketidakpastian, jaminan reparasi produk sangat relatif, ada kemungkinan kondisi produk sangat baik dan normal tidak mengalami gangguan dalam jangka waktu yang ditetapkan produsen, sehingga uang yang diberikan konsumen atas akad permak garansi ini sia-sia belaka.
2. Permak garansi dilakukan bersamaan dengan penjualan produk, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, ada dua pendapat ulama dalam menyikapi persoalan ini :
- pertama  : akad jual beli tidak sah dan garansi seperti ini haram, pendapat ini didukung oleh            Muhammad Sakhal al-Majaji.
- kedua      : akad jual beli sah, sedangkan hukum garansi adalah halal, pendapat ini didukung mayoritas ulama, diantaranya Mustafa Zarqa, DR. Wahbah Zuhaili.
     
Ketiga : Tinjauan hukum atas jual beli dengan sistem hadiah  
      Salah satu bentuk promosi untuk meningkatkan penjualan suatu produk adalah melalui sistem hadiah, secara umum ada dua metode, yaitu :
Pertama : memberikan kupon pada setiap penjualan produk dengan batasan harga tertentu, kemudian diadakan undian untuk menentukan para pemenang.
ada dua pendapat ulama dalam menyikapi persoalan ini :
1.     Tidak diperkenankan mengikuti undian dan penjualan produk dengan sistem ini tidak sah, pendapat ini didukung Ibnu Baz dan lembaga fatwa Arab Saudi.
2.     Sistem penjualan seperti ini sah, dan diperkenankan mengikuti undian, dengan beberapa catatan,
-       harga produk tidak bertambah karena faktor hadiah
-       pembelian produk dilatarbelakangi oleh pemenuhunan kebutuhan hidup bukan semata mata mendapatkan hadiah.
Kedua : memberikan hadiah kepada seluruh pembeli, ada beberapa bentuk :
  1. Hadiah yang dapat diketahui identitasnya.
  2. Hadiah yang tidak dapat diketahui identitasnya.
  3. Hadiah berupa uang tunai

Keempat : Tinjauan hukum atas asuransi.
Secara umum ada dua pendapat tentang status hukum asuransi, mayoritas ulama kontemporer menilai keharaman asuransi dan beberapa tokoh muslim menilainya sebagai bentuk akad baru yang sah dan halal.
Perlu dicatat bahwa keharaman akad asuransi ini bila dilakukan secara independen, adapun ketika berstatus sebagai unsur sekunder dampak hukumnya berbeda, seperti asuransi sebagai bagian dari anekaragam fasilitas kartu kredit, asuransi dalam penjualan atau penyewaan sarana transportasi.

Penutup
Demikian sekilas isi dan kandungan disertasi ini, masih banyak sub pembahasan yang belum bisa sajikan lewat tulisan, insyallah disampaiakan secara lisan dalam diskusi, semoga dapat membawa manfaat amin.
           




[1] Nilai pasar adalah “Estimasi jumlah uang pada tanggal penilaian yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui, bertindak hati-hati dan tanpa paksaan. Adapun pengertian harga adalah sejumlah uang yang disetujui pembeli untuk dibayarkan dan disetujui penjual untuk diterima di saat tertentu dan melalui mekanisme pasar yang wajar.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text